Kapal boat yang ditunggu-tunggu sampai juga, haripun gelap sudah. Dua kurcaci yang asyik berwara-wiri dipinggiran laut dikala senja tadipun sudah menggigil kedinginan. Hanya ada sebuah baju ganti, tanpa celana. Sebab, segala bekal pakaian ganti telah di bawa serta ayahnya yang sudah duluan berangkat.

Bermalam terang dibawah bulan purnama, kami mengarungi laut bersama kapal boat menuju pulau Rubiah. Indah dan senyap, hanya ada suara mesin boat dan air yg bergelombang kencang setelah diterjang boat yang kami naiki. Tak lama, kapal boat bergerak pelan, kata pak supir ada yang sedang menyelam dibawah air.
"Kok bapak tau ada orang dibawah?" Tanyaku
"Ada cahaya dibawah sana, klo diperhatikan pasti keliatan cahayanya" kata pak supir.
Benar memang, ada cahaya yang terpancar dari kedalaman air di sekitaran kami. Kata pak supir, mereka sedang mengincar ikan-ikan malam. Ada ikan yang hanya keluar pada malam hari. Biasanya ikan tersebut tidur jika pagi telah berkunjung. Maka para diver juga penasaran ingin melihat kecantikan para ikan malam. Ikan malam, sama gak dengan wanita malam? Jangan-jangan para diver yang melihat adalah lelaki buaya Hehehe *kiddoo



Semenjak mesin boat dimatikan, suasana malam di lautan itu semakin begitu terasa laut. Udaranya, pantulan cahaya bulannya, gemerisik airnya, dan kegelapannya. Tak jauh dari ujung mata, terlihatlah pulau yang kami tuju. Pulau itu gelap dengan penerangan seadanya. Kabarnya pulau itu memang belum dipasok listrik, hanya berbekal genset pada malam hari, para pemilik dan pengelola cottage menyalurkannya untuk menerangi cottage mereka. Kami melihat cahaya lain, yaitu cahaya api-api kecil yang berpencar dibeberapa titik. Sepertinya itu adalah cahaya yang berasal dari perkemahan kami.

Kapal boat mulai menepi, beberapa laki-laki yang kukenal sebagai suamiku dan teman-temannya menyambut kami, membantu menurunkan anak-anak dan barang bawaan kami. Dua kurcaciku super heboh ketika melihat sang ayah. Dengan semangat menggebu, berlari menuju tenda yang sudah berdiri. Ketika berjalan di setapak jalan, suamiku bilang kalau cottagenya penuh semua.

"Hah? Jadi kami gimana dong? Tendanya cuma satukan?" Tanyaku kaget.
"Iya, tapi gak papa. Tendanya gede dan banyak kamar-kamar. Pida bisa disitu sama anak-anak" Kata suamiku.
Hmmm... Aku sendiri sebenarnya suka sangat dengan kemping di tenda, yang aku khawatirkan Hamdi jatuh sakit, karena pada hari rabunya ia akan ujian di TPQ sekolahnya. Tapi menurutku, bocah-bocahku ini sepertinya petualang hebat. Takkan lemah walau tidur di tenda.

Sesampai ditenda, aku mengajak dua kurcaci untuk mandi. Tempat mandi jangan dibayangkan seperti kamar mandi di kota. Sejelek-jeleknya kamar mandi di kota, tetap ada bak/ember yang terisi air didalamnya. Jarak antara tenda dan sumur berkisar 16 meter. Gelap gulita berteman senter ditangan menjalani tapak jalan yang terbuat dari susunan bata yang disemen. Bahkan suara jangkrik, dan beberapa binatang yang dikenalpun terdengar lebih romantis disana. Hamdi dan daya khayalnya yang tinggi memegang senter sambil berkata:

"Ma, mungkin ada sesuatu disana. Hamdi liat ada yang bergerak-gerak. Oh, mungkin sebuah makhluk besar. Jangan-jangan dia lagi liatin kita, Ma".

Aku cuma bisa hmmmm hmmm hmmmn saja. Sudah kubayangkan, suasana begini akan menerbangkannya pada dunia lain hehehehe...

Sumur itu sangat besar, suamiku yang menawarkan diri menimbakan untuk kami. Ya iyalah, diakan laki-laki baik, jadi harus bersikap baik pada istrinya yang manis sangat. Ember diisi penuh oleh air. Airnya dingin, karena terpengaruh oleh kehijauan hutan dan dinginnya malam. Anak-anak riang serasa sedang kemping *lah memang sedang apa?
Mandi diantara pohon yang berjejer di bukit kecil, suara berbagai hewan di kelam malam, dan ditemani seekor biawak sebesar setengah badanku (baru disadari esok paginya, ternyata ada seekor biawak disamping sumur). Kurasa dan kufikir, biawak itupun sedang termangu melihat keadaan ganjil diluar kebiasaan dimalam buta.

Selesai mandi, Hamdi dan Ahza bermain sejenak sebelum akhirnya tertidur lelap di bawah keremangan langit malam, bersandarkan rumput dengan pandangan kearah langit berbintang. Beberapa pelakon musikal memainkan lagunya bersama sebuah gitar apik dengan suara yang ntah bisa dikategorikan bagus atau hanya sekedar pas-pasan. Ntahlah, hanya kami dan Allah yang tau.

Tapi sebelum kelelapan tadi, kami para pendatang baru di dunia perkemahan, disuguhi ayam bakar yang dibakar ramai-ramai oleh para suhu kemping. Ayamnya maknyus, hibahan dari calon istri seorang teman yang tak dapat ikut serta kemping bersama kami. Ayam sudah diungkep sejak di banda, dan tinggal dibakar di pulau Rubiah. Aku suka sekali sayap, atau daging ayam yang dekat-dekat tulang. Kupilih-pilih dimana letak sayap itu. Kutemukanlah sang sayap yang diincar, tapi dengan warna yang aneh. Segelap-gelapnya malam itu ternyata masih terlihat juga warna gelap si sayap alias gosong. Ntah siapa biang keladi kokinya, tapi sayap tetap kuambil. Siapa tau hanya gosong diluar tapi maknyus didalam. Alhamdulillah, syukur pada Ilahi kupanjatkan, si sayap tak jadi gagal di lidah. Rasa dagingnya masih maknyus. Bahkan tercipta cita rasa baru, antara rasa pahit dan gurihnya bumbu ungkep.

Anak-anak yang sudah kenyang, senang, riang, akhirnya menjadi tenang. Tertidur dibawah rembulan malam, ditemani rumputan hijau, suara jangkrik dan deburan ombak. Kami mengangkat mereka masuk kedalam tenda.

Hampir mereka semua telah tertidur. Akupun sudah mengantuk. Tapi sayang rasanya melewatkan romantisme pantai tanpa dilalui dengan duduk berdua di pinggir pantai, sambil menatap bulan yang sedang ceria. Aku dan suami duduk di depan pantai, bersandar dipundak abangda, layaknya filem-filem india. Tapi sayang, kami tak pandai bernyanyi. Jika saja bisa, sudah pasti kami akan bernyanyi sambil berlari-larian kecil diantara pepohonan di pinggir pantai. *harap pembaca tak protes.

Romantisme pantai diakhiri dengan kantuk. Kami kembali kedalam tenda. Aku dan anak-anakku berada satu kamar. Suamiku bergabung dengan teman-temannya.

****
Shubuh telah menyapa, terbukti dari alarm yang terdengar dari tabletku. Kuberanjak keluar, kudapati Hamdi telah berada disamping ayahnya, tertidur didekat pintu keluar. Aku ingat tadi malam ia protes kepanasan, akhirnya buka baju dan tidur diluar. Suamiku bangun, menemaniku ke sumur. Tak lama, rimbunan warna indah yang dikenal dengan fajar menyingsing menampakkan dirinya, disertai dengan munculnya cahaya mentari yang sedikit malu-malu di ujung laut. Saat itu Hamdi dan Ahza telah bangun dari mimpinya yang ntah itu indah atau tidak. Mereka berjalan kearah pantai sambil membawa sekotak besar cococrunch sebagai pengganjal perut dikala pagi.

Hamdi mulai tak sabar lagi bermain dengan laut





Tak ketinggalan Ahza mulai beraksi



Akupun tak sabar ingin segera bermadu kasih dengan dinginnya air laut pagi itu. Maka aku segera ke tenda, berganti baju, mengambil kacamata dan alat bantu nafas untuk snorkeling. Tadinya suami agak khawatir, karena aku tak pakai pelampung, ditakutkan kalau keram ditengah-tengah. Tapi kusabar-sabarkan hatinya, kuberikan sedikit wejangan dan ketabahan hati atas niat kuatku ini. *kayak mau ngelepasin istri berjuang ke medan perang kekekeke
Ya sebenarnya, olah raga yang paling aku suka adalah renang, kalau saat itu aku pakai pelampung, berarti aku sedang tidak berolah raga. Lagipula, ada kacamata snorkeling, tak perlu khawatir mata pedih ketika renang.

Hamdi mengambil pelampungnya sendiri, yang memang sudah kubawa dari rumah. Pelampung itu bukan pelapung plastik, tapi pelampung berstandard internasional. Memang sudah lama kubeli, karena sering mengajak mereka berenang, atau kelaut. Jadi tak perlu khawatir jika si anak terlalu ke tengah, pelampung takkan bocor karena pelampung tidak diisi angin.

Ahza sendiri sementara harus sabar dengan pelampung yang disewa, yang ukurannya untuk orang dewasa. Ahza pandai menggunakannya, ia membentangkan pelampung itu lalu telungkup diatas, dan tetap mengapung di laut. Ahza tak takut kedalaman, tapi tetap harus kami perhatikan, ditakutkan ia meluncur kebawah.

Rasa lapar dipagi hari mendera, mengingat kami belum lagi sarapan. Kamipun kembali ketenda. Para bujangan sedang sibuk memasak air dan bubur. Dengan sabar kami menunggu koki yang sedang memasak bubur. Walau akhirnya, aku tetap makan indomie, sedang Ahza memilih bubur. Sebenarnya, bubur dan nasi pagi itu agak berbeda. Bubur kacang ijo yang telah lama dinanti kematangannya, ternyata harus sedikit gosong, sedangkan nasi yang dimasak sejak malam tadi memang sudah terdengar beritanya kalau nasi itu yang akan menjadi bubur alias lembek hehehehe...

Perut telah terisi, Ahza tak sabar ingin kembali ke laut. Kulihat ia memilih-milih peralatan snorkeling yang tergeletak di rerumputan. Aku, suami, dan Hamdi beranjak duluan nenuju ayunan didekat pantai. Menunggu kemunculan ahza yang tak kusangka-sangka akan seperti ini:



ia berjalan dari tenda membawa pelatan ini, berapa kalipun kulihat gambar ini, aku masih tersenyum lucu melihat tingkahnya yang percaya diri ingin snorkeling.



Berenanglah kami kelaut, tenyata Ahza pandai bernafas dengan alat itu. Ahza dan Hamdi bergantian pelampung untuk melihat ikan di kedalaman laut, sebab pelampung yang dipakai Ahza terlalu besar. Awalnya Hamdi masih takut menundukkan kepalanya ke dalam air, karena sungguh sangat dalam. Tapi ayahnya membujuk dengan mengatakan banyak sekali ikan cantik di bawah sana. Akhirnya Hamdi ketagihan melihat terus.

(bersambung)
Published with Blogger-droid v1.6.9

0 Komentar