Kelahiran

Ia memeluk bayinya yang merah, menghangatkannya dengan cinta. Melekatkan kulit tipis itu pada kulitnya yang hangat, meredam tangis si mungil yang baru saja memekik menuju lelap yang begitu damai. Runi bersemu merah atas pertemuan pertamanya dengan sang putra. Memandang Halim yang baru saja berkeringat peluh melihat istrinya menghabiskan seluruh tenaganya dalam proses kelahiran putra mereka, seolah-olah ialah yang kala itu merasakan sakitnya. Tapi kekhawatiran itu sirna ketika Halim menggandeng putra mugil itu, lalu meng-Adzan-kannya. Mereka tak berkata apa-apa hanya tersenyum saling menoreh pandangan, yang dalam hati terdengar teriakan maha dasyat atas syukur mereka kepada Ilahi.

Putra itu bernamakan “Yusuf Aqil”, si Yusuf yang bijaksana. Ia tampan, walau tak setampan nabi Yusuf, dan semoga ia juga bijaksana sesuai namanya. Itulah yang diharapkan Runi dan Halim pada putranya. “Yusuf Aqil” adalah rangkaian nama pemberian tetangganya, sepasang suami istri separuh baya, dan telah terlalu menua untuk mendambakan seorang bayi hadir di kehidupan mereka. Suami istri ini sangat menyukai Runi, yang walaupun tak begitu cantik, namun senyumnya melebihi kecantikan bintang sinetron yang sering mereka berdua tonton di perjalanan sore hari, sambil menyantap gorengan atau kacang pemecah kesunyian yang mengerubungi hunian itu. Ketika Runi hamil, suami istri paruh baya ini tak letih menyambangi rumah Runi, menghujani perut buncitnya dengan dawaian ayat-ayat suci dari sebuah surah, yaitu “Yusuf”. Ntah mengapa suami-istri ini merasa yakin janin itu akan berjenis kelamin laki-laki, dan tampan jika ada yang selalu melantunkan surah “Yusuf” padanya.

“Kau tahu Runi, dulu, ketika ibu masih muda, seorang sahabat menyarankan ibu membaca surah Yusuf jika ibu hamil, tapi kebahagiaan ibu diberikan dalam bentuk berbeda. Dan rasanya pantas bagi ibu, menganjurkan hal yang sama pada Runi” Wanita paruh baya itu berkata, dengan senyum yang dewasa, penanda ia sudah menikmati bentuk lain dari kebahagian yang diberikan Allah padanya.
“Terima kasih, Bu. Runi senang Ibu mau menganggap Runi kerabat yang layak untuk dibagi cinta”. Jawab Runi terharu kala itu.

Runi dan Halim bukanlah sepasang suami istri yang kaya, tak pula miskin. Halim bekerja pada pemerintah dengan golongan 3A. Ia juga bukan lulusan terbaik di angkatannya, tapi ia dikenal cerdas, komunikatif, dan gampang bergaul. Runi sendiri hanya menamatkan D2 jurusan komputernya, lalu langsung menikah ketika ia baru saja menyelesaikan programnya. Tak ada yang menentang pernikahan mereka berdua, pernikahan sederhana yang mereka gelar berjalan baik, hubungan dengan mertua juga romantis. Walau orang tua mereka berdua sama-sama masih ada, tapi ekonomi orang tua masih butuh bantuan. Runi tak alpa mengirimkan uang setiap bulannya, sebagai penyenang hati orang tua dan .?mertua. Walau itu 'uang' yang kata orang “cinta tak diukur dengan rupiahmu”, tapi setidaknya bantuan itu yang masih bisa mereka berikan. Apalagi hunian halim dan runi berada jauh di luar kota, kota yang berjarak pandang tak terjangkau dari tempat dimana kedua orang tua mereka menghabiskan romantisme sepasang kakek dan nenek.

Selepas kehadiran Aqil yang menambah aktifitas mereka, mereka semakin menikmati hari-hari sibuk, kurang tidur, mata lelah, dan bingung karena Aqil menangis. Ke-ibu-an Runi luar biasa hebat, tak pernah bergumam lelah walau sebersit kata, tak pula berkerut kening jika dibangun paksa oleh Aqil yang resah karena popoknya basah, karena Runi merasakan kehebatan yang sama pada suaminya. Halim dengan inisiatif luar biasa membantu Runi menyiapkan sarapan pagi. Halim tau, menyiapkan sarapan pagi tak sebanding dengan pekerjaan Runi setelah ia meninggalkannya menuju kantor. Berbagai kejadian dan aktifitas rumah dikerjakan Runi sendirian. Sedangkan bagi Runi, inisiatif Halim merupakan vitamin dosis tinggi untuknya.

Pagi itu Halim sudah bersiap-siap menghidupkan motornya, tiba-tiba Runi teringat belum menghibahkan senyum manisnya untuk Halim.

“Mas, bentar deh” Runi sedikit berlari memanggil suaminya
“Kenapa bun?” Jawab Halim
“Nggak, bunda cuma lupa kasih senyum hehehehe” ungkapnya sambil tersenyum, lega suaminya belum beranjak dari garasi.
“Aiihhh.. biarpun lebayy, tapi Bunda hebat, Ayah jadi semangat 2010 loh berangkat kerjanya” Kata Halim
“Loh, bukannya kaum 2010 lebih letoy ketimbang pejuang angkatan '45”. Canda Runi dengan senyum sedikit mengejek.
“ Ahh itu kan buat yang lain, tapi klo Ayah, semangat Ayah nggak terbendung, kan baru dapat senyun Bunda”. Jawab Halim membalas ejekan Runi dengan kedipan mata.
“Ayah berangkat ya Bun, titip cium untuk Aqil yang lagi mimpi, Assalamu'alaikum”
“Wa'alaikum salam … eh Ayah sebentar, ada lagi nih” Runi mendekati Halim dan membisikkannya sesuatu.
“Jangan terpengaruh dengan pemasukan yang abu-abu, jangan juga menganggap sepele gratifikasi, walau sekecil apapun. Biarlah begini dulu, Masih banyak cara lain yang lebih berkah untuk kaya”. Runi kembali menjauhkan badannya dari motor Halim. Halimpun tersenyum.
“makasih ya, pasti bidadari surga lagi cemburu banget sama Bunda”. Halim berkata dengan pujian yang membuat Runi terdampar dalam bilik cinta yang bersemu merah.

*****

Siang itu, tak seperti siang biasa yang identik dengan matahari yang pongah. Cahayanya banyak memudar berubah kelabu, tapi Runi tak lantas malas dengan dingin yang memberi kabar akan datangnya rentetan hujan. Pujian Halim menaikkan volume kinerjanya dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga, membelai Aqil yang sedang bermanja setelah hausnya sirna. Bahkan paska Aqil tertidur, tenaganya masih terisi penuh untuk mengerjakan satu dan lain hal.

Sebenarnya, seluruh pekerjaannya sudah khatam dari sekian jam yang lalu. Namun Aqil sedang tidur, hal ini membuat Runi bingung ingin melakukan pekerjaan apalagi. Bekas aroma masakan Runipun masih menari diantara sudut ruangan, sehingga siapapun yang tiba-tiba masuk ke ruangan itu, tak sabar ingin menyicipi hidangan Runi.

Runi mengangkat hp nya, memecet nomor Halim.
“Assalamu'alaikum Bunda”. Seru suara diujung sana menyambut panggilan tercinta.
“Wa'alaikumsalam Ayah, lagi apa?. Tanya Runi yang ia sendiri masih bingung ingin berbicara apa.
“Cuma nyusun laporan aja, Bun. Bunda masak apa buat makan malam?”. Halim selalu tak sabar menerima kejutan dari kelihaian tangan Runi meracik bumbu untuk masakan. Ia tak pernah mengharapkan untuk makan diluar, baginya masakan istrinya melebihi masakan resto manapun.
“ Off the record dululah, klo dibocorin, ntar gak deg-degan pas mau makan. Pokoknya klo buat ayah, yaa siap-siap bakal jadi ndut aja dehh”. Canda Runi. 

Bagi Runi, wajah senang Halim ketika menyantap masakannya sudah cukup membuatnya puas. Perasaan yang sama seperti ketika Runi menikmati Shubuh setelah Sholat. Auranya berbeda dengan malam, walau mereka sama-sama gelap. Shubuh merupakan mutiara tak berbanding, bahkan segala kebaikan dimulai dari Shubuh. Sungguh sayang bagi orang-orang yang tak pernah mengenal cara kerja shubuh dan atensinya untuk kita.
“Jiaaahh.. masa' mo makan aja musti deg-degan ... kayak waktu ngelamar Bunda aja. Ngomong-ngomong, kayaknya Ayah hari ini bisa pulang cepat deh, pekerjaan Ayah udah hampir selesai”. Kata Halim, yang sebenarnya tak sabar menyicip kejutan istrinya.
“Gak perlu lah, Yah. Ayah itu PNS, ada waktunya pulang dan ada waktunya kerja. Jam kerja ayah udah diatur, kan memang untuk itu Ayah digaji. Jangan ngurang-ngurangin waktu kerja, karna ayah terikat dengan tanggung jawab dunia. Bunda ltu lebih senang Ayah pulang sesuai jam pulang kerja, loh”. Jelas Runi pada Halim. Runi takut, karena dengan membiasakan kemiringan kecil akan berakibat pada ketimpangan lebih besar, hingga kita tak lagi menyadari bahwa kesalahan besar dimulai dari kesalahan kecil. Berbeda jika Halim tidak bekerja pada seseorang atau institusi. Jika Halim mempunyai usaha sendiri, wajar bagi mereka mengatur sendiri jam kerja mereka. Namun Halim punya kontrak dunia yang berimbas pada ketaatan akhirat. Membiasakan diri disiplin pada tanggung jawab, maka Runi yakin, InsyaAllah mereka terjaga dari rayuan duniawi yang beraura negatif dan berdampak pada kekhilafan dan menjerumuskan mereka pada lubang berkerikil tajam disetiap sisi dindingnya, sehingga mereka tak mampu lagi naik menuju cahaya kebaikan itu berawal. Na'udzubillah.
Halim terdiam, lagi-lagi fikirannya seperti tercubit dengan kata-kata istrinya.

“Ntah apa jadinya suamimu ini jika tidak ada kau, istriku”. Bisik Halim dalam hati. Jauh diujung sana, ia menangis kecil. Bukan karena sedih, tapi betapa baiknya Sang Khalik mengirimkan bidadari itu untuk kehidupannya. Bahagianya ia jika kelak, disuatu masa, ketika dunia ini diambil kembali oleh Empunya, ia disanding kembali bersama bidadarinya di dunia.
“Klo gitu ayah gak jadi pulang cepet deh. Karna kerjaan ayah hari ini emang udah tamat, ayah nulis aja ya”
“Emang ayah mo nulis apaan? Nulis puisi buat bunda boleh gak?”
“Boleh, tapi ntar langsung tunjukin ke Bunda, ya. Tapii, apa memang gak ada kerjaan lagi yah?”
“Nggak Bun, Kerjaan Ayah hari ini gak terlalu banyak. Tapi puisinya gak langsung Ayah tunjukin ke Bunda ya.. pokoknya ada masanya deh.. dan bukan sekarang”. Goda Halim.

Runi sebenarnya mengagumi tulisan-tulisan Halim, hanya saja Halim tak pernah mau mengirimkannya ke media apapun. Padahal, jika saja Halim percaya diri dengan karyanya, Runi yakin karyanya akan diterima banyak orang. Bahasanya yang kuat akan makna, diksi-diksi indah seperti rangkaian ruby yang tersusun indah.

*****
Petir Hati di Pagi Hari

Runi memahami milikNYA adalah selamanya milikNYA, dan bukan hak Runi mempertanyakannya. Namun hati yang masih lara semakin berlipat ganda ketika kenangan manis tak lagi terbendung. Inikah cinta yang teruji diantara kehendak Ilahi dan keegoisan diri? Begitulah sekilas terbersit pertanyaan disebuah ruang hati yang mengatasnamakan cinta. Namun Runi segera tersadar bahwa ia tak berhak menunda, bahkan menahan takdir Allah. Walau dengan rentetan bulir air mata yang tak kunjung kering, ia mencoba memahami niat baik Ilahi yang menyudahi kebersamaannya dengan Halim.
Hari itu Runi tak berfirasat apapun akan hal apapun. Segala sesuatunya berjalan biasa. Bahkan candaan Halim yang sedikit norak bagi sebagian kaum, tak menandakan adanya keganjilan. Mereka seperti biasa bersalaman sebelum Halim berangkat ke kantor. Seperti biasa pula Halim memuji Runi sebagai bidadarinya di dunia dan di syurga. Namun, pagi itu Runi sedikit ingin terlihat lebih cantik dari biasanya, seakan Runi tak rela jika di perjalananya, halim akan melihat bidadari lain yang lebih cantik darinya. Ia berdandan lebih manis, lebih wangi, juga membuat halim hampir membatalkan keberangkatannya ke kantor hanya untuk melihat istrinya berkali-kali. Tak sadar bahwa itulah persembahan keindahan Runi luar dalam untuk Halin kali terakhir.

Satu jam setelah keberangkatan Halim, Runi mendapat telfon dari sebuah Rumah sakit. Hatinya tak beraturan mendengar suara diujung sana, samar-samar ia mendengar kata 'kecelakaan', lalu di sebuah koma, nama Halim disebutkan dengan jelas. Runi berlari secepat degup jantungnya, menghampiri kamarnya, lalu menggendong Aqil yang tertidur lelap. Ntahlah, apa mungkin Aqilpun saat itu sedang bermimpi bercanda dengan Ayahnya, karena Aqil sama sekali tak berontak atau menangis ketika diangkat paksa oleh Runi yang tergesa sembari mengumpulkan tenaga dan emosi yang harus stabil, agar tetap dapat berjalan dengan baik menuju rumah tetangganya. Syukurlah, dalam keadaan seperti ini, para tetangga banyak membantu. Sepasang Kakek nenek pemberi nama Aqil menawarkan diri untuk menggendong Aqil selama mereka di Rumah sakit, sedang tetangga yang lain ikut serta menemani Runi yang memang sebatang kara di kota itu, menuju Rumah sakit. Runi tak berkata apa-apa, ia hanya dapat mengucapakan kata “Allah.. Allah.. Allah” berulang-ulang di dalam hatinya. Mata yang seperti memar memerah tak lagi dapat menahan jatuhnya air mata, ia menangis sambil memohon pertolongan Ilahi untuk memberinya sebongkah kesabaran yang tak terusik fikiran sinisnya. Ya, apapun nanti yang dihadapainya di Rumah sakit, ia harus kuat.

Para tetangga mencoba memegangi Runi, ketika tubuh kaku Halim di perlihatkan padanya. Runi seperti tak berpijak, ia mengamini itu adalah suami tercintanya, suami yang tak pernah menyakitinya, Suami yang beberapa saat lalu mengecup keningnya, suami yang selalu memuji kecantikannya, walau Runi tau, ia tidaklah secantik pujian Halim. Bahkan sisa-sisa pujian Halim masih berbekas di hati Runi, getar dan cinta yang diterimanya masih tersanding didalam tubuhnya. Hingga hati Runi berteriak dengan tangis yang begitu iba.

“Ya Allah.. Demi Engkau, pudarkan cintaku padanya barang sejengkal, pudarkan yaAllah, agar aku tak sombong pada kehendakMU.. Berikan aku kesabaran yang luar biasa, karena aku, sungguh sangat mencintai HambaMU itu” Runi terduduk namun tak meraung, bahkan isakannya hanya sedikit terdengar, namun semua orang menyadari betapa lemasnya Runi saat itu.

*****

RUMAH IDAMAN

Runi duduk diberandanya yang mungil. Disamping dudukannya, kuntum-kumtum kateliya seperti mengerti arti pandangan Runi. Mereka yang mekar bertahtakan gutasi penanda pagi baru saja muncul. Runi senang dengan pemandangan ini, melihat sosok Aqil yang semakin tumbuh membesar, sedikit berlari mengejar beberapa kupu-kupu putih yang sering muncul diantara Rumput dan bunga. Diantaranya juga terselip kolam kecil dengan hiasan tulip diatas air.

Runi teringat obrolannya bersama Halim di beranda yang sama, bahwa kelak mereka akan menghabiskan masa tua disini, duduk dengan senyum mengembang sambil melihat cucu-cucu mereka berlarian diantara tanaman yang dengan manja selalu bergelayutan bersama rumput yang tumbuh terarah. Kembali untuk kesekian kali, Runi menghela nafas, ketika secara tiba-tiba kenangan akan Halim muncul menggantung dalam fikirannya.

Rumah itu bukanlah rumah milik mereka, mereka menyewanya sejak pertama sekali mendayung asa bersama. Terbersit sebuah pembicaraan kecil tentang masa depan mereka yang sebatas bayangan. Ketika setiap kali Runi bersanding duduk dengan Halim di beranda Rumahnya, Runi merasa bahwa rumah itu memiliki banyak hal yang mampu menarik pemiliknya untuk masuk kedalam kesederhanaannya.

“Kau tahu, Mas? Klo aja rumah ini milik kita, aku puas dan nggak bakal gantiin rumah ini dengan rumah model lain. Aku ngerasa rumah ini lihai memanjakan perasaan kita. Coba deh lihat, halaman didepan kita tidak terlalu besar, tapi tak juga kecil, tapi bunga-bunga yang aku tanam semuanya subur. Ada kolam kecilnya pula, trus klo siang mataharinya nggak menyengat ke arah kita. Bikin kita adem kan didalamnya. Bangunan rumah ini pun tidak membuatku bosan, apa mungkin karena rumah ini bergaya lama yang nggak lekang dimakan zaman. Aku rasa kita cukup dengan rumah mungil begini. Kira-kira klo uang kita terkumpul, si empunya mau nggak ya ngejual rumah ini ke kita?” Panjang lebar Runi mengungkapkan kagum pada rumah yang mereka tempati kala itu, membuat Halim tersenyum.

“Kamu puas dengan rumah ini? Bener gak papa? Klo emang kamu sukanya rumah yang begini, ya kita niatkan aja supaya rumah ini bisa terbeli. Jadi kita juga bisa terus berhayal tentang masa tua kita, yang akan kita habiskan di rumah ini”. Sambut Halim serius. Halimpun sama puasnya dengan Runi. Bagi Halim, rumah merupakan simbol ketenangan, dengan memilih rumah yang tepat, kebhagiaan mereka akan terus bertumbuh di setiap sudut dan dinding sebagai saksi perjalanan panjang mereka. Walau Halim sendiri tak tahu, akankah si empunya rumah rela menjual rumah mungil itu kepada mereka suatu saat.

*****

Runi masih memperhatikan riak air diatas kolam itu, ingatannya kembali maju kemasa kini. Kini, mereka masih menempati rumah itu, namun hanya berdua dengan Aqil, dan tetap hanya sebagai penyewa. Suara kecil Aqil yang tertawa sambil berlari mengejar kupu-kupu tadi, membangkitkan sikap kuat Runi. Runi Ikhlas dengan pilihan yang diberikan Allah padanya. Tak ada suara patah dan asa yang koyak, semangatnya masih sama tinggi, ketika ia mulai menyandang gelar Nyonya Halim untuk pertama kalinya. Tidak perlu tangis pemecah malam, atau segukan lemah. Runi hanya perlu mengumpulkan seluruh kemampuannya, untuk merancang pola pendidikan Aqil.

Hampir satu tahun sudah Runi menjalani kehidupannya sebagai orang tua tunggal. Dan selama hampir satu tahun pula, ia mencari nafkah dengan berdagang baju kreditan. Runi tak berkeliling, ia hanya menempelkan spanduk “Rumah baju (boleh kas, boleh juga kredit)” di depan rumah mungilnya itu. Pangsa pasarnya adalah para tetangga, kerabat tetangga, lalu para kerabat dari kerabat tetangga. Runi pernah membaca sebuah buku tentang 'bagaimana menarik pelanggan', bahwa kepuasan pelanggan akan menyebar hingga ke 250 orang yang terhubung dengan orang tersebut secara network. Jadi Runi berusaha untuk tetap jujur dan ramah kepada semua pelanggannya.

Baju-baju itu, ia peroleh dari berbelanja ke Medan dengan menumpangi Bus malam bersama Aqil kecil selama 12 jam. Lalu kembali ke Banda Aceh pada esok malamnya, agar ia tak perlu mengeluarkan uang lebih untuk ongkos menginapnya. Jika saja ia punya sanak saudara disana, dengan tak malu ia akan menumpang di rumah mereka, agar tak terlalu lelah menapaki jalan panjang dalam sehari. Sayangnya, keluarga Halim dan Runi berada jauh di negeri Jawa.

Pernah beberapa kali, Orang tua maupun mertuanya mengajak mereka untuk kembali ke tanah Jawa. Tapi Runi menolak. Ia tak ingin membabani orang tuanya, Runi mencoba memberi pengertian bahwa ia tak menderita sama sekali. Ia yakin dengan maksud baik Allah. Runipun yakin, hijrahnya ini akan mengalirkan rezeki untuk mereka. Begitulah janji Allah yang diketahui Runi. Ia juga menggambarkan pada kedua orang tua dan mertuanya, bahwa Insya Allah Hijrah yang dimulai saat bersama Halim ini adalah tempat yang tepat. Kehidupan yang Islami, kota yang tak sesak, setiap wanitanya berhijab, walau tak semua hijab mereka memenuhi syarat. Tapi ini merupakan pertanda baik. Lagipula Runi memang sudah mencintai negri serambi Mekkah ini semenjak ia memasuki rumah mungilnya. Laut yang terbentang di hampir setiap ujung perjalanan kota, bukan sekedar laut. Laut -laut itu belum terjamah turis barat yang berpakaian terbuka, walau mereka pernah menyimpan luka di tahun 2004 lalu.

Runi pernah membaca sebuah sumber di suatu situs, tentang dalil yg menunjukkan bahwa berhijrah di jalan Allah termasuk adalah kunci Rizki.
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yg luas dan rizki yg banyak” [An-Nisaa : 100]
Dua hal yang akan didapati seseorang yang berhijrah: Pertama ‘muraagama katsiiran”, Kedua ’sa’atan’. Yang dimaksud ‘muragamaa’ sebagaimana dikatakan oleh Imam Ar-Razi ialah, barangsiapa berhijrah di jalan Allah ke negeri lain, niscaya akan mendapat di negeri yang baru itu kabaikan dan kenikmatan yang menjadi sebab kehinaan dan kekecewaan para musuh yg berada di negeri asalnya. Sebab orang yg memisahkan diri dan pergi ke negeri asing, sehingga mendapatkan ketentraman di sana, lalu berita itu sampai kepada negeri asalnya, niscya penduduk asli negeri itu akan malu atas buruk mu’amalah (perlakuan) yang mereka berikan, sehingga dengan demikian mereka merasa hina. [2]
Sedangkan yang dimaksud, ’sa’atan’ (keluasan), yaitu keluasan rizki. Inilah yang dikatakan oleh Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhu dalam menafsirkan ayat ini. Juga dikatakan oleh Ar-Rabi’, Adh-Dhahhak [3], Atha [4] dan mayoritas ulama [5]
Qatadah berkata : “Maknanya, keluasan dari kesesatan kepada petunjuk dan dari kemiskinan kepada banyak kekayaan” [Tafsir Al-Qurthubi, 5/348. Lihat pula, Tafsir Ibni Katsir 1/597]
Imam Malik berkata : “Keluasan yang dimaksud ialah keluasan negeri” [Tafsir Al-Qurthubi, 5/348. Lihat pula, Ruhul Ma’ani 5/127]
Mengomentari ketiga pendapat diatas, Imam Al-Qurthubi mengatakan : “Pendapat Imam Malik lebih dekat pada kefasihan ungkapan bahasa Arab. Sebab keluasan negeri dan banyak bangunan menunjukkan keluasan rizki. Juga menunjukkan kelapangan dada yg siap menanggung kesedihan dan pikiran serta hal-hal lain yg menunjukkan kemudahan” [Tafsir Al-Qurthubi 5/348]

Pendapat mana saja yang diambil dari ketiga pendapat di atas, yang jelas semua menunjukkan bahwa orang yg berhijrah di jalan Allah akan mendapatkan janji dari Allah berupa keluasan rizki, baik dengan ungkapan langsung maupun secara tidak langsung.

Subhanallah, BagiNYA Maha Penentu dan padaNYA Maha mengetahui atas segala kebenaran dan keburukan. Dan pastilah IA sang Maha Adil adalah sebaik-baik pemegang janji.
Selang jutaan detik yang melewati masa dan tapak langkah yang langsung sirna, usaha Runi masih bertahan, walau hanya masih sebatas makan ditempat, dengan kata lain bertahan pada kata 'bertahan'. Runi tidak mengeluh, ia hanya perlu memutar otaknya. Runi yakin, segala sesuatu pasti ada jalan keluar. Tinggal kita saja yang harus lebih berpeluh mengoreknya.

Sore itu, Runi yang masih duduk di beranda dengan ingatan masa lalu dan masa kini yang teraduk, mencoba menjalin ide-ide baru. Mencari jalur lain untuk menambah pundi keuangannya. Agar ia tak perlu risau menghadapi masa sekolah Aqil kelak.

****

SANG TAMU

Aqil baru saja tertidur dan langsung menangis ketika tiba-tiba terdengar suara 'salam' beserta ketukan pintu didepan. Runi bingung harus melayani siapa terlebih dahulu. Keduanya sama pentingnya, tamu dan tangisan anak. Tapi Runi teringat pada suatu masa Nabi pernah bersabda ketika seorang tamu datang, namun Rasulullah tak mempunyai makanan kecuali air putih.

“Siapa yang bersedia menjamu tamuku ini, insya Allah, akan mendapat rahmat-Nya”
Saat itu, seorang sahabat bernama Abu Thalhah mengajak si 'tamu' kerumahnya. Padahal dirumahnya hanya ada sisa semangkuk nasi untuk anak dan istrinya saja. Dengan meredupkan lampu dan berpura-pura ikut makan dengan tamunya, Abu thalhah tetap ikhlas melayani sang 'tamu' hingga si tamu pulang.

Runi tergesa menyeret langkah menuju pintu depan, membukakan pintu sambil mendengar Aqil yang menangis. Wajah diatur sedemikian rupa, agar tamu tak merasa resah dengan suasana panik didalam. Namun, betapa terkejutnya Runi, ketika yang datang adalah pemilik Rumah.

“Bu Fuad? Silahkan masuk, Bu. Maaf sedikit berantakan”. Ajak Runi
“Nnggak papa Runi, ambil saja dulu Aqil yang lagi nangis itu. Tak baik anak dibiarkan nangis lama-lama”. Sang pemilik rumah berseru sambil mengambil posisi di tempat duduk usangnya yang dulu ia tinggalkan untuk penyewa.

Runi berlari kekamar, segera menggendong Aqil dan memeluknya. Aqil diam dengan tentram di pelukan Runi. Runi mendudukan badannya sebentar di tempat tidur sambil berfikir, ada apa kira-kira Bu Fuad menyambangi rumahnya? Adakah pemilik rumah tak akan lagi menyewakan rumah itu? Atau akankan biaya sewa rumah untuk tahun depan akan naik? Jika ya, kira-kira berapa biayanya? Fikiran Runi memintal serabut tak teratur, terlihat jelas jalinan kusut yang berputar-putar dikepalanya.
Runi berjalan keluar kamar menemui pemilik rumah yang masih duduk santai di ruang tamu.

“Ibu sendirian kesininya?”
“Iya, kebetulan tadi ibu mampir kerumah kakak ibu yang rumahnya di ujung sana, trus teringat ingin kesini. Udah lama juga kan ibu gak ngeliat-liat rumah ini”. Jawaban Bu Fuad membuat Runi sedikit lega, setidaknya begitu.
“Bu, sebentar ya Runi bikinkan minum dulu. Ibu klo gak salah gak bisa terlalu manis kan, Bu?”
“Sebenarnya Runi gak usah repot. Sayang si Aqil udah nangis dari tadi”
“Gak papa kok, Bu. Aqilnya udah diam”.
“Aqil mau duduk disini dulu, atau ikut Bunda ke dapur, Nak?”. Runi memandang Aqil yang masih basah wajahnya karena tangis barusan. Dan sepertinya Aqil lebih memilih ikut Bundanya, karena berusaha tetap memegang ujung baju Runi dengan lembut dan malu. Belum banyak kosa kata yang dapat disebutkan Aqil, namun ia faham maksud ukiran kata Runi barusan.

Berkecamuk rangkuman kedatangan Bu Fuad di kepala Runi. Semoga saja si pemilik tak menoreh kabar buruk. Runi masih sanggup menerima kabar yang mengguncang perasaannya setahun ini, dan Ia tetap akan menerima kabar lain, jika itu masih ada. Adukan teh sedikit lebih lama dari seharusnya, jika saja Aqil tak mengejutkannya karena merengek minta dibuatkan teh juga. Runi bukan wanita lemah, walau begitu hatinya tetap berdegup khawatir. Ia seperti tak rela jika harus dilepas dengan rumah kenangan ini. Bukan hanya kenangan yang terpilin dalam ruam-ruam dinding yang bisu itu, tapi juga kenyamanan, ya rumah sewa itu memberinya rasa itu.
Runi berjalan ke Ruang dimana Bu Fuad menelurkan lamunan lain. Ditinggal sendiri di ruang tamu pasti membuat setiap orang rajin berkreasi dengan fikirannya. Tak banyak orang yang sadar, bahwa dalam diri setiap manusia terdapat bibit mencipta sebuah tulisan, jika saja setiap fikiran yang menggelantung disaat mereka sedang sendiri, ditorehkan kedalam tulisan.

“Diminum Bu the nya.. gak terlalu banyak gula nih, manis-manis jambulah”
“Makasih, Run. Masih ingat ya klo Ibu gak bisa minum terlalu manis. Sebenarnya sih bukan karena Ibu punya penyakit gula, tapi memang ibu senangnya ya yang manisnya seperti ini aja”. Bu fuad meminum the manis jambu itu.

*****

Teh itu memang manis jambu, sama seperti hatinya yang sedang bermanis jambu. Antara tega dan tidak untuk mengutarakan maksudnya datang ke rumah itu. Bu Fuad masih menikmati minumannya, sambil mencoba berfikir ulang. Jika saja bukan karena ia membutuhkan uang, karena putra sulungnya baru mendaftarkan kuliah di kota lain, tentu ia tak setega ini menyambangi rumah yang di sewa Runi. Ia tahu benar bagaimana Runi menjalani hidupnya, tapi ia sendiri bernasib tak jauh berbeda. Suaminya telah lama berbagi cinta, padahal ia merasa tak kurang memberi cinta. Madunya jauh lebih cantik dan muda, pandai menarik perhatian suaminya. Ia hanya pernah bertemu beberapa kali. Dan pastinya bukan saat mereka mengikat akad. Rasanya ia lebih memilih bernasib seperti Runi, asalkan sampai hayat tersudahkan, ia yakin bahwa cinta suaminya utuh untuknya.

Sekarang Suaminya pun sudah jarang berkunjung, lebih memilih tinggal di rumah madunya. Kalau sudah begitu, jangankan cinta yang terbagi, Pundi keuanganpun harus rela terbagi dengan tak adil. Pak Fuad sedang sibuk mengurusi putri barunya yang baru saja lahir. Kabarnya uangnya terkuras untuk biaya operasi dan persiapan kamar si bayi dirumah baru suami dan madunya itu. Ia sendiri tak dapat berbuat banyak, tak berani meminta cerai, karena status sebagai janda cerai masih tabu dalam fikirannya. Padahal keadaan sekarangpun tak jauh berbeda dengan kata “cerai”. Dua orang anak-anaknya sudah menganjurkannya untuk putus nikah secepatnya. Mereka tak tega melihat Bu Fuad harus bermata sembab setiap malam, menunggu bayangan kepala keluarga pulang dan mengetuk pintu rumah mereka.

Sekarangpun ia masih merasakan perih itu. Seandainya saja Runi mengerti keadaannya setelah ia mengutarakan niatnya, tentu ia tak perlu merasa bersalah terhadap perempuan itu. Sebelum ini, Bu Fuad telah mencoba berembuk dengan suaminya. Tapi nihil, Pak Fuad lebih memilih untuk terdiam. Bahkan tanpa diduga, suaminya justru menyalahkannya, karena membiarkan si sulung mencari ilmu di kota yang jauh dengan biaya kehidupan yang lebih mahal. Rasanya, dulu suaminya tidak perhitungan seperti itu. Walau ia tau, suaminya tak pula terlalu akrab dengan anak-anak mereka. Bagi Pak Fuad, tugas suami hanyalah mencari nafkah, sedang istri bertanggung jawab pada anak-anak mereka.
20 tahun sudah menjelang, tapi ternyata tidak hanya nafkah yang dicari suaminya, tapi juga madu untuknya. Bu Fuad sedikit menarik nafas, diletakkannya cangkir yang sedari tadi dipegangnya ke atas meja. Ia berharap, apa yang ia lakukan tidak akan menyakiti hati wanita didepannya.

“Sebenarnya ada yang ingin ibu sampaikan ke Runi, karena ini terlalu mendesak. Beberapa hari lalu anak ibu yang paling besar lulus di UI Jakarta”
“Wahh, Alhamdulillah, Bu. Senang pasti ya Bu. Soalnya susah loh untuk bisa lulus disana”. Runi sedikit terkejut gembira mendengar kabar itu.
 “Iya, Ibu senang kali memang. Tapi Ibupun bingung kalilah rasanya sekarang. Soalnya Biaya hidup disanapun kan nggak murah. Dapur mengepul jadi dua. Pun biaya masuk nggak lagi murah kayak dulu biarpun itu PTN. Ntahlah Run, Ibu pun bingung ini kayakmana bilangnya. Suami ibu.. ya Runi mungkin belum tau, atau mungkin udah dengar dari orang.. kalo Pak Fuad udah punya yang muda.” Bu fuad berhenti sejenak dari kata-katanya yang terdengar jelas dengan logat Aceh. Ia hanya ingin memastikan bagaimana perubahan raut Runi saat itu. Tapi sepertinya Runi tak memberikan keterkejutan berarti. Ia mencoba melanjutkan kata-katanya kembali.

“Nggak mungkin rasanya menolak keinginan anak yang memang pintar kan Run. Apalagi susah betul masuk UI itu. Taulah Runi kayakmana klo perhatian suami udah nggak lagi ke kita, keuanganpun terbagi. Ibupun udah putar otak terus dari semalam. Jadi tadi pagi ibu udah coba ambil keputusan. Jalan satu-satunya Ibu harus menjual rumah ini. Dan Ibu gak bisa pastikan, apa pembelinya nanti masih menyewakan rumah ni untuk Runi”. Ada sedikit perasaan lega setelah ia mengatakannya. Bu Fuad melirik Runi, menunggu tanggapannya.

“Ibu gak usah khawatir, saya nggak papa kok. Lagian ibu kan memang perlu uang. Sayangnya, saya tak punya uang untuk membeli rumah ini. Padahal betul-betul suka rumah ini. Nanti saya coba bantu jualkan ya” Runi tersenyum dan berbesar hati
“Trus klo ternyata pemilik baru mau menempati rumah ini sendiri dan gak mau nyewakan lagi, gimana Run?” Seru Bu Fuad

“Ya ndak papa, berarti bukan rezeki saya untuk menyewanya lagi. Mungkin rezeki itu ada di tempat lain. Tapi ibu nggak usah khawatirlah. Saya kan bisa mencari rumah sewa lain. Yang pasti kita coba jual dulu rumah ini” Jawab Runi.
Bu Fuad mengambil kembali sisa minumannya, menghabiskannya dengan sedikit kelegaan. Ternyata kekhawatirannya tak beralasan. Buktinya Runi tak menunjukkan tanda-tanda kecewa.

*****

Runi tak menyangka pilu takdir yang singgah di rumah tangga bu Fuad begitu mendera. Hatinya ikut koyak, padahal hanya sepintas kalimat yang diperdengarkan, hanya pada kalimat “Pak fuad udah punya yang muda”. Namun, hatinya bersuara dengan auman yang berkelebat hebat dan terus memutar sambil menahan air mata yang ingin ia tumpahkan, sebagai tanda kesedihan yang ia sertakan akan nasib bu Fuad. Runi yakin, Pak Fuad sudah lama tak perduli dengan gubuk lamanya, itu terbukti dengan jalan keluar yang diambil Bu Fuad. Karena siapapun pemilik rumah ini, sama sepertinya tak akan rela melepas rumah ini ke tangan lain. Tentu ibu itu sedang berputus asa dan patah sayap. Ingin rasanya ia memeluk si pemilik rumah, namun Bu Fuad tak meneteskan air mata. Mungkin ia sudah tegar saat itu. Hati kecilnya, ingin sekali tahu cerita detilnya. Tapi Runi yakin, Bu Fuad bukanlah orang yang mampu menguak busuk rumah tangganya ke banyak orang secara detil.
Namun, disisi lain Runi tetap terkejut dengan keputusan menjual rumah. Ia tak sampai pada sangkaan bahwa waktunya untuk menempati rumah itu berkemungkinan lebih pendek. Bahkan ia tidak yakin pada perasaannya yang terlihat tidak terpengaruh diluar, namun membatin dengan cemas di dalam. Benar, bagaimana jika pemilik baru tak menyewakannya? Padahal dia sungguh terbelit cinta pada rumah itu. Pada pemandangan dari beranda rumahnya, pada halaman belakang yang berseri, pada dapur yang merekam setiap jejak masakan yang pernah ia buat. Pada kamar yang menjadi saksi cadaan malam bersalam Halim. Ya, karena rumah itu punya rekaman perbincangannya dengan Halim.

Runi menutup pintu depan, menggendong Aqil yang berselemak biskuit dimulutnya, lalu mengajaknya bermain di halaman belakang. Hari ini sudah lebih dari pertengahan hari, namun belum satupun pembeli atau pembayar kreditan yang menyambangi rumahnya. Fikirannya mulai kalut, tidak lagi terfokus di usahanya. Namun di mana ia akan mencari rumah murah nanti? Lalu siapa yang akan membatunya pindah? Sungguh ini adalah kabar tak terduga bagi Runi. Dan baru saat ini Runi merasakan kekhawatiran yang hebat.

*****

PINDAH RUMAH

Aqil duduk dipangkuan Runi, sambil bersandar dilengannya yang semakin mengurus. Jeritan becak mesin yang memekak membuyarkan lamunan Runi yang telah sedari berangkat tadi berhamburan dikepalanya. Mereka berangkat dan meninggalkan rumah mungil itu untuk seterusnya. Sekarang, Runi yang sedang memangku Aqil diatas becak mesin dalam buaian keibuannya, masih mencoba melepas seluruh kenangan yang tertinggal diantara tapak-tapak langkah yang pernah mereka toreh di rumah itu.

Bagaimanpun, pada akhirnya Runi harus menyadari bahwa rumah itu memang bukan miliknya, dan tak baik baginya jika terus hidup bersama kenangan berlebih. Ia melewati Jalan Teuku Nyak Arif, melewati arena mahasiswa yang bernama Universitas Syiah Kuala. Runi memperhatikan para mahasiswa yang mempunyai bermacam gurat wajah. Mereka masih muda, dan tak mengerti takdir apapun untuk masa depan mereka. Namun, terbersit sebuah doa dihati Runi, berharap mereka tetap berprasangka baik atas seluruh nasib mereka. Selanjutnya, abang becak yang sudah terbiasa dengan deru mesinnya sendiri mengarahkan perjalanan mereka menuju Tungkop. Becak dibelokkan menuju daerah yang lebih jauh. Mulai terlihat hamparan sawah, bau padi, dan segarnya aroma desa. Ya, sebuah desa di Aceh besar. Disinilah mereka selanjutnya melepas canda ibu dan anak.

Runi telah berusaha mencari Rumah murah di seputar daerah yang mendekati kota, setidaknya labi-labi masih rajin berlalu lalang di daerah itu. Tapi sayangnya, tidak ada lagi rumah yang semurah rumahnya yang dulu. Seluruh pemilik rumah sewa telah menaikkan rumah sewa lebih tinggi dari standard. Mungkin, ini adalah sebab dari Tsunami yang pernah singgah beberapa tahun lalu. Padahal para 'bule' dan organisasinya telah hengkang dari bumi Aceh ini, tapi ntah mengapa harga sewa rumah, toko, gedung masih saja melangit. Akhirnya, Runi hanya mampu menyewa sebuah rumah di desa tungkop. Desa ini memang sedikit jauh dari kota terdekat. Untuk mencapai labi-labi saja Runi harus rela berjalan jauh. Tapi untungnya, ada sebuah kedai penjual sayur dan ikan didekat rumahnya, setidaknya hanya itulah yang paling penting untuk saat ini.

Mereka Akhirnya sampai di peraduan baru. Sedangkan mobil angkutan pindah menyusul dibelakang mereka. Runi ingat ketika masa terakhir ia berada di rumah lamanya, saat barang terakhir telah terpajang rapi di mobil terbuka itu, si ibu pemberi nama “Aqil” berteriak memanggilnya.

“Runii... “
Runi menoleh, memperhatikan ketergesaan langkah ibu itu, disebelahnya seorang ibu lain yang juga tetangganya berjalan mengirinya. Rani hanya tersenyum, walau ia tau pada akhirnya ia akan menangis di depan mereka.
“Run, Ini oleh-oleh dari para tetangga. Biar Runi ingat terus sama kami, dan jangan lupa sering-sering main kesini ya” Ujar si ibu tetangga.
“Sedangkan ini khusus dari Nekmama dan Ayahsyik untuk Aqil” Ibu pemberi nama memberikan sesuatu ke tangan Runi sambil menitikkankan simbol kesedihan.

Runi tak lagi mampu menahan tumpahan airmatanya. Diciumnya tangan si ibu dengan hati yang rindu akan emaknya. Lalu Satu persatu dipeluknya para ibu tetangga yang mulai menghampirinya. Hatinya bersyukur bertetangga akrab dengan mereka, walau Runi tau pada dasarnya kebanyakan mereka hanya iba melihat keadaannya.

*****

Runi memasuki rumah barunya dengan tatapan yang masih asing, bagaimanapun kenyamanan rumah tergantung penghuni didalamnya.

“Aqil, mulai sekarang kita akan tinggal disini. Bunda gak tau sampe kapan kita tinggal disini. Tapi Bunda harap Aqil bisa nyaman disini ya, Nak. Sebenarnya bunda gak ingin pindah. Banyak kenangan dengan ayah selama disana. Tapi Bunda gak bisa berbuat apa-apa. Ada orang yang lebih membutuhkan rumah itu daripada kita” Runi terisak, baru kali ini ia merasa begitu kesepian semenjak ditinggal Halim. Ia sadar, selama ini ia hidup dibawah bayang-bayang kenangan suaminya. Berfikir bahwa Halim masih berada didekatnya.

Malam itu, Runi tak dapat memejamkan matanya. Fikirannya sibuk memikirkan keuangan mereka. Otaknya berputar bagaimana caranya ia mendapatkan sebuah pekerjaan tanpa harus meninggalkan anaknya.

“Seandainya saja, baju-baju itu dapat aku jual sebanyak mungkin” pikirnya.
Ia teringat motor Halim yang masih terduduk tanpa ia pergunakan.
“Apa aku belajar naek motor aja ya? Klo naek motor kan bisa mendatangi banyak tempat untuk menjual semua bajuku” Lagi-lagi Runi berbicara sendiri.

Fikiran Runi mantap untuk segera belajar mengendarai motor. Dengan begitu, ia tak perlu berjalan jauh untuk mencapai jalur labi-labi. Runi mulai memikirkan ide-ide lain. Semangatnya kembali muncul, Apalagi, Runi menyadari bahwa dengan berjualan, ia dapat membawa serta Aqil. Sebagai langkah awal, ia akan berkeliling mengunjungi tetangga barunya,. Ia yakin, dari ratusan keluarga di kampung itu, pasti akan ada yang menjadi pelanggan tetapnya. Akhirnya mata Runi terpejam setelah sekumpulan rencana esok bergulat dikepalanya.

bersambung...

2 Komentar